Hola!
Kali ini aku ingin cerita pengalamanku ikut walking tour dengan tim Djedjak Rasa beberapa waktu lalu. Awalnya aku mager mau share di blog, tapi kok sayang kalau gak aku ceritakan disini. So, here you go.
Singkat cerita kami mulai berjalan menyusuri jalanan kampung menuju pengrajin kue kembang waru khas Kotagede yang proses pembuatannya masih sangat tradisional. Usaha tersebut dikelola oleh pasangan suami-istri, Pak Bas dan Bu Gidah sejak tahun 1983. Perjalanan menuju ke sana tidak terlalu lama, mungkin hanya 5 menit saja.
Sesampainya di sana, kami disambut oleh Pak Bas dengan senyumnya yang sumringah. Kami langsung dipersilahkan untuk masuk ke dalam dapur untuk melihat langsung proses pembuatan kue kembang waru. Tempatnya sangat sederhana. Di dapur terlihat bu Gidah sedang menuangkan adonan ke dalam cetakan di depan oven tradisional yang masih menggunakan arang. Disana juga aku melihat ada adonan roti yang sedang dikocok dengan alat yang wujudnya gak seperti mixer pada umumnya. Sepertinya custom. Unik ya?
Gak perlu menunggu lama untuk bisa menikmati roti kembang waru karena sudah ada roti-roti yang baru matang tersusun rapi di atas tampah bambu. Pada dasarnya, roti kembang waru adalah sponge cake atau bolu. Rasanya sederhana, manisnya pas, ringan, dan airy. Dan ada aroma smokey tipis dari penggunaan arang yang menjadi bahan perapian. Ah cocok sekali buat teman minum kopi atau teh di pagi atau sore hari.
Kata Pak Bas, dulunya roti kembang waru terbuat dari gula jawa, tepung ketan dan telur kampung. Namun karena perkembangan jaman dan perkembangan selera, kini bahan yang digunakan diganti menjadi gula pasir, tepung terigu, dan telur ayam broiler. Selain itu penggantian bahan-bahan juga bisa menekan harga agar tetap murah namun masih bisa dinikmati oleh banyak orang.
Roti kembang waru ini juga punya cerita filosofinya loh. Kue kembang waru berbentuk bunga dengan delapan kelopak yang memiliki arti 8 elemen kehidupan; air, api, tanah, udara, matahari, bulan, bintang, dan langit. Dan setiap elemen memiliki artinya masing-masing, namun jujur aku lupa apa saja artinya. Tapi intinya, tiap kali kita menyantap kue kembang waru ini diharapkan bisa menjadi pengingat 8 elemen kehidupan tersebut.
Sebelum kami ke tempat selanjutnya, kami diajak bernyanyi lagu kembang waru yang iconic ciptaan pak Bas. FYI, pak Bas dahulu seorang seniman lakon ketoprak dan macapat loh. Makanya waktu kita diajak ambil nada, pak Bas bisa tahu dengan mudah kalau ada yang melenceng dari nada. Lucunya kami masih menyanyikan potongan lagu kembang waru selama perjalanan sampai acara selesai. Lagunya sangat nempel di otak kami. Hahaha..
Rute selanjutnya, kami dibawa ke tempat pengrajin perak “Salim Silver”. Di sana kami bisa melihat proses pembuatan kerajinan perak secara langsung. Para pengrajin terlihat serius dan telaten mengerjakan kerajinan perak. Selain itu kami juga diajak ke galeri untuk melihat produk yang dibuat; dari aksesoris, alat makan, sampai pajangan-pajangan yang cantik.
Kerajinan perak di Kotagede sudah tersohor sejak dulu, bahkan dari jaman Kerajaan Mataram. Saat era Covid-19, kerajinan perak Kotagede mengalami penurunan yang sangat drastis karena tidak ada wisatawan yang datang dan bahan baku yang semakin mahal. Para pengrajin akhirnya lebih fokus menjual kerajianan perak yang lebih banyak peminatnya seperti aksesori dan memasarkannya lewat pasar online sehingga bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Perlahan-lahan ekonomi semakin baik dan para pengrajin bisa bertahan sampai saat ini.
Lalu kami mulai berjalan lagi menuju ke rute selanjutnya. Sebelumnya kami diajak mampir sebentar di Pasar Legi. Sambil berteduh dari sinar matahari yang terik, tim Djedjak Rasa bercerita sedikit tentang Pasar Legi. Jujur, aku gak bisa banyak menangkap info kala itu. Hahaha, serius panas sekali loh. Tapi info yang aku bisa tangkap adalah Pasar Legi biasanya akan lebih meriah di saat hari Legi (salah satu hari Kalender Jawa). Yang dijajakan akan makin beragam dan pasar dibuka sampai malam.
Lanjut! Rute selanjutnya kami diajak ke Jalan Rukunan, dimana terdapat kompleks pemukiman yang bangunannya masuk dalam Cagar Budaya Yogyakarta. Jalan Rukunan dikenal dengan sebutan Between Two Gates (diantara dua gerbang dan Lawang Pethuk (pintu yang bertemu). Kompleks ini sudah berdiri sejak tahun 1800an. Walaupun sudah banyak perubahan, namun beberapa bangunan masih mempertahankan tata ruang rumah tradisional. Sampai saat ini, kompleks pemukiman ini masih dihuni oleh beberapa keluarga. Oh ya, karena bangunan-bangunan masuk ke dalam cagar budaya, renovasi tidak boleh dilakukan sembarangan. Harus ada persetujuan dari pemerintah provinsi. Gak bisa tuh ujug-ujug renovasi jadi rumah scandanavian atau Japanese minimalism.
Cuaca makin panas, namun semangat masih membara! Dan rute selanjutnya adalah Pasar Lawas Mataram yang diselenggarakan di pelataran halaman Masjid Besar Mataram, Kotagede. Sebagai jajanan pasar mania mantap, tentu saja aku happy banget! Disana banyak sekali jajanan pasar tradisional yang sudah dikurasi panitia, jadi jajanannya sangat beragam.
Sesampainya di Lokasi kami diajak berkeliling bersama panitia Pasar Lawas Mataram dan juga mendengarkan penjelasan tentang acara yang sedang berlangsung. Karena kami datang di pagi hari dan pengunjung belum begitu banyak yang datang, jadi kami bisa leluasa berkeliling.
Jajanan yang pertama aku beli adalah Es Belimbing Wuluh dengan ekstra es batu. Duh ternyata seger banget ya! Lalu aku mampir ke jajanan pasar khas Kotagede, Kipo alias iki opo. Kayaknya kalau ke Kotagede gak bawa pulang jajajanan manis ini kayak kurang afdol.
Karena banyak jajajanan yang dijajakan, jadi aku memutuskan untuk beli jajanan yang belum pernah aku temui atau jarang aku temui di pasar-pasar yang sering aku kunjungi. Tenan selanjutnya yang aku kunjungi yaitu penjaja Legomoro. Legomoro artinya datang dengan rasa lega, biasanya jajananan ini dijadikan hantaran pernikahan dari keluarga pengantin Wanita untuk pengantin pria. Di tenan tersebut juga menjajakan cemilan bernama Prawan Kenes. Basically pisang panggang yang diiris tipis lalu dijapit dengan bambu dan diberi saus santan kental. Rasanya tentu saja rasanya manis, gurih, dan smokey tipis. Prawan Kenes artinya gadis genit, entah kenapa dinamai nama tersebut. Bahkan ibu penjualnya pun gak tahu kenapa.
Itu saja? Tentu tidak! aku juga jajan beberapa jajanan lain seperti gombrong, getuk kicak, jenang tape, dan es rujak kweni yang segar banget!
Setelah puas mengunjungi Pasar Lawas Mataram, kami lanjut berjalan kaki menuju ke lokasi terakhir untuk makan siang bersama di Warung Jawi. Tak hanya makan siang, kami juga diajak menceritakan kembali pengalaman yang berkesan selama walking tour ini. Ah rasanya menyenangkan sekali bisa ikut walking tour kali ini. Walaupun awalnya canggung, namun makin lama kami makin bisa membaur. Ah senangnya! Sepertinya aku bakal ikut walking tour lagi, namun di rute yang berbeda.
Oh ya, jika kalian tertarik dengan walking tour dengan tim Djedjak Rasa, kalian bisa follow instagramnya @Djedjak.Rasa. Disana kalian bisa lihat jadwal kapan walking tour diadakan dan juga agenda-agenda seru lainnya.
Sampai ketemu lagi, kapan-kapan!




.jpg)


















